InvesYuk

Prospek Investasi Global dari APAC Investor Forum 2022 Franklin Templeton

Prospek Investasi Global dari APAC Investor Forum 2022 Franklin Templeton

MOMSMONEY.ID - Franklin Templeton, organisasi manajemen investasi global, menggelar diskusi kondisi makroekonomi yang terus berubah dan potensi peta jalan investasi pada dekade mendatang. Diskusi ini dikemas dalam acara APAC Investor Forum 2022, 23 November lalu. 

Dalam panel CIO yang dipandu Stephen Dover, Chief Market Strategist and Head Franklin Templeton Institute, sebagai moderator, para panelis berbagi wawasan mengenai potensi dampak nyata dan finansial dari resesi dan peralihan dalam lanskap ekonomi. 

Dover mengatakan, kawasan Asia bisa berada dalam posisi yang lebih baik dibanidngkan dengan kawasan-kawasan lain seperti Eropa, terkait potensi terjadinya resesi.

Dinamika di China berbeda dibandingkan dengan negara lain di dunia dan bisa membuat ekonominya berada di posisi yang lebih baik jika kebijakan moneter tetap longgar dan pembatasan COVID mulai berkurang.

Hubungan China dengan Amerika Serikat juga akan menjadi isu penting untuk diperhatikan, dalam hal jalur pertumbuhan China dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 

Baca Juga: Efek Ekonomi G20 di Indonesia: Investasi Kunci Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Mengenai prospek inflasi, Sonal Desai, Chief Investment Officer Franklin Templeton Fixed Income, mengatakan, inflasi terbukti lebih kuat dibandingkan dengan yang diinginkan oleh pasar keuangan.

"Untuk menurunkan inflasi hingga ke level 2% akan jauh lebih sulit," kata Sonal dalam keterangan tertulis. 

The Fed harus membawa tingkat suku bunga dana hingga sekitar 5,25% dan mempertahankammua di angka tersebut cukup lama agar ekonomi bisa mengalami cooling down.

Bank sentral dunia lain juga harus menjaga posisi moneter lebih ketat. Di tengah kondisi ini, Sonal melihat investasi di obligasi akan diuntungkan lebih dulu. 

Namun, investor juga harus berhati-hati atas kondisi kejatuhan dari kebijakan moneter super longgar. Hal ini telah menimbulkan pengambilan risiko dalam pasar, yang kini mengakibatkan munculnya serangan ketidakstabilan dan volatilitas.

Misalnya, anjloknya secara tiba-tiba harga obligasi di Inggris dan FX, atau masalah terakhir dalam aset kripto Amerika Serikat.

"Kita bisa menghadapi kejutan yang lebih besar yang menghantam pasar keuangan global, dan itu akan berdampak terhadap Asia juga, itu informasi yang tidak bisa diidentifikasi, jika Anda menginginkannya," kata Sonal. 

Baca Juga: Wajib Pikirkan Hal Ini Sebelum Restrukturisasi KPR, Catat

Sementara Manraj Sekhon, Head of Templeton Global Investments, menyebutkan, di pasar saham untuk sepanjang tahun ini memang menjadi tahun yang sulit. Namun, prospek pasar saham di 2023 bisa saja berbeda. 

Saran dari Manraj, investor harus bergulat antara fundamental yang terus menurun dalam jangka pendek serta valuasi yang menarik dan prospek kebijakan yang lebih ramat saat melihat dalam 12 bulan mendatang. 

Ferdinand Cheuk, Portfolio Manager Templeton Global Equity Group menerapkan filosofi investasi valuasi bottom up dan melihat peluang investasi yang menarik di Jepang.

Melihat ke depan, ekonomi Jepang seharusnya terbukti lebih tahan banting dibandingkan rekan-rekan pasar maju lainnya dalam skenario resesi, mengingat penarik dari pembukaan kembali Covid-19, yen yang melemah, serta kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung. 

Dari perspektif sektor, kami berfokus pada perusahaan-perusahaan domestik dan tema struktural yang bisa memungkinkan perusahaan-perusahaan Jepang tetap tahan banting, baik di lingkungan saat ini, dan ke depan seperti digitalisasi.

Ada beberapa perusahaan Jepang dengan positioning  yang kompetitif beserta rantai nilai yang meliputi semikonduktor, layanan IT, software dan integrator sistem. 

Berbicara mengenai ekuitas China, pendekatan selektif adalah kunci karena volatilitas pasar mungkin akan berlanjut dalam jangka penndek.

Ferdinand berfokus pada perusahaan-perusahaan domestik yang akan mendapatkan keuntungan dari penggerak pertumbuhan tematik jangka panjang, termasuk konsumsi yang meningkat dan adaptasi lokal. 

Untuk negara-negara lain di Asia, fokus Ferdinand adalah perusahaan-perusahaan yang membayar dividen dengan neraca yang solid dan pertumbuhan pendapatan yang kuat untuk membantu mereka mencapai imbal hasil, tetap tangguh di tengah tantangan ekonomi makro dan berfungsi sebagai elemen defensif. 

Desmond Soon, Head of Investment Management Asia/Portfolio Manager Western Asset Management, menilai, untuk pasar pendapatan tetap, kini menawarkan imbal hasil yang menarik dan berpotensi bergerak maju dalam tiga hingga lima tahun yang akan datang. 

Dalam hal peluang di pasar obligasi, Desmond melihat Indonesia dan India menonjol sebagai dua tempat utama yang harus diamati di dunia yang sedang berkembang.

Obligasi pemerintah 10 tahun Indonesia menunjukkan imbal hasil 7%, dan rupiah adalah salah satu mata uang teratas tahun ini.

Sama halnya dengan obligasi India yang nampak menarik, dengan imbal hasil dari obligasi 10 tahun pemerintah India mencapai 7,25% saat India muncul dengan kuat setelah pandemi Covid-19 dan kepercayaan konsumen terhadap negara ini tinggi.

Penting untuk menjadi bahan pertimbangan bahwa banyak negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan akan mendapatkan keuntungan dari strategi diversifikasi China Plus One.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News