HOME, Santai

Sorgum Hingga Kelor, Nikmatnya Kuliner Khas Nusa Tenggara Timur

Sorgum Hingga Kelor, Nikmatnya Kuliner Khas Nusa Tenggara Timur

MOMSMONEY.ID - Masakan Indonesia dikenal berlimpah kombinasi berbagai jenis bumbu. Keragaman rasa, mulai dari pedas, asin, gurih, dan manis berpadu harmonis, ditambah aroma-aroma yang begitu menggugah selera. Tapi, rupanya masakan kaya bumbu seperti ini tidak lazim ditemukan pada budaya kuliner di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dari pengalaman yang dipetiknya, Ade Putri, seorang culinary storyteller, menyimpulkan bahwa kuliner NTT memiliki karakteristik yang khas, yaitu penggunaan bumbu yang sangat minimalis.

“Memandang dari segi rasa, sepertinya penduduk NTT sudah terbiasa dengan rasa bahan pangan yang mereka gunakan. Seperti karakter masakan dari daerah Indonesia Timur yang lain, kuliner NTT menonjolkan bahan asli, tidak memberi banyak tambahan bumbu sebagai cita rasa. Jadi, proses memasaknya simpel saja,” kata influencer tersebut.

Renata Puji Sumedi Hanggarawati, Agroecosystem Program Manager dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), menambahkan, setelah menangkap berbagai jenis ikan dari laut, masyarakat NTT tidak memberi bumbu macam-macam.

“Hanya dibakar saja. Sehingga, rasa daging ikan laut yang manis bisa dinikmati. Itu karena ikannya segar dari laut. Atau, menu favoritnya adalah ikan kuah asam. Hanya dengan rempah jahe, lengkuas, tomat, garam, dan irisan daun jeruk, cita rasanya luar biasa," sebut Renata Puji.

Baca Juga: IHSG Tampil Prima Pada Penutupan Perdagangan Rabu (25/8)

Dia juga bercerita, sumber pangan di kawasan timur Indonesia itu sangat berlimpah. Dalam tradisi Suku Lamaholot di Flores Timur juga dikenal legenda Tonu Wujo, tokoh perempuan yang rela mati dan tubuhnya terburai menjadi beragam sumber pangan, seperti ragam benih biji-bijian dan sayuran. 

“Kita perlu meyakinkan bahwa sumber pangan lokal mereka sangat bergizi dan mengajak mereka untuk kembali mengonsumsinya. Dengan demikian, para petani akan terus menanamnya. Selain bisa dikonsumsi sendiri, petani juga bisa mendapatkan nilai ekonomi saat menjual hasil panen. Jenis tanamannya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah dan terbukti adaptif. Tidak dipaksa harus menanam tanaman tertentu yang diperkenalkan dari luar,” lanjut Renata Puji.

Bicara soal bahan pangan lokal, Di NTT Anda akan bisa menemukan 5 bahan berikut dalam menu makanan.

1. Sorgum

Beberapa tahun belakangan ini sorgum sedang naik daun. Sebab, bahan pangan ini bebas gluten, sehingga bisa menjadi solusi bagi anak berkebutuhan khusus. Ade sendiri sudah mengonsumsi sorgum selama sekitar 3 tahun. Karena tidak hobi baking, maka ia memakai sorgum sebagai pengganti nasi.

“Tekstur dan rasanya tidak jauh berbeda dibandingkan nasi dari beras. Cara dan lama memasaknya pun sama, bisa juga dengan rice cooker. Hanya takaran airnya saja yang sedikit berbeda, tapi saran takaran air biasanya dicantumkan pada kemasan. Aku pernah membuat kreasi bubur manado dari sorgum. Enak banget! Belum lama ini aku juga baru mencoba membuat pancake dari tepung sorgum,” ucap Ade.

Ade juga senang mencampur-campur bahan. Terinspirasi dari masakan internasional yang gemar menambahkan biji-bijian, seperti barley, ia terkadang mencampur beras dan sorgum. “Dan, orang pikir yang ia makan itu adalah barley, padahal sorgum. Bagusnya lagi, sorgum juga merupakan sumber pangan tinggi protein. Orang yang harus mengonsumsi plant base food bisa mendapatkan protein dan karbohidrat sekaligus dari sorgum,” sebut Ade.

Puji bercerita, di NTT terdapat banyak sekali varian sorgum yang kaya serat dan tumbuh subur di lahan kering. Dilihat dari warna sangat beragam, ada warna putih, cokelat, kuning, merah, merah marun, hingga hitam. Seperti juga padi, ada sorgum yang pera, pulen, dan ada yang mirip ketan.

“Keberadaan sumber pangan ini tak bisa dipisahkan dari budaya. Jika sumber pangan hilang, maka budaya akan berubah atau hilang. Misalnya, Ende punya upacara Ngoa Lolo untuk sorgum. Kalau sorgum sampai hilang, upacara itu tentu tidak ada lagi,” katanya.

Sorgum sudah terbukti baik bagi kesehatan. Menurut Puji, di rumah sakit pun pasien diberi makanan gluten free, termasuk sorgum, karena bisa menurunkan kadar gula darah.

Tak hanya dikonsumsi dalam bentuk nasi, masyarakat setempat sudah membuatnya sebagai sereal. Tepung sorgum pun mereka olah sebagai bahan kue. Ada juga sorgum bunga yang bisa dibuat popgum, yaitu semacam popcorn. “Bukan hanya diambil bulirnya, batang sorgum bisa dimanfaatkan menjadi gula sorgum, atau difermentasi menjadi kecap,” kata Puji.

Baca Juga: Bukalapak Gelar Kompetisi Prakerja

2. Jewawut

Berbeda dari sorgum, oleh masyarakat NTT jewawut tidak dikonsumsi sebagai pengganti nasi, melainkan lebih sebagai snack. “Aku belum pernah mendapatkan jewawut di Jakarta, sehingga belum mencoba mengolah sendiri. Jewawut dibuat seperti bubur jagung. Cita rasanya agak manis. Biasanya bubur jewawut ini dijadikan menu sarapan atau snack sore. Ketika dijadikan menu sarapan, dia bisa disantap begitu saja, tidak perlu ditemani lauk,” kata Ade.

Rasa jewawut sendiri sebetulnya tawar, sehingga rasa akhirnya tergantung pada cara kita memberi bumbu. Serupa ketika membuat bubur kacang hijau dan ketan hitam. Manisnya karena diberi gula, dan gurihnya karena diberi santan.

Menurut Puji, bubur dari jewawut ini kerap dimanfaatkan oleh masyarakat NTT untuk memulihkan kesehatan orang yang baru melahirkan.

“Ini seperti tradisi yang diterapkan secara turun temurun. Setiap kali ada yang baru melahirkan, mereka akan membuatkan bubur jewawut, yang bentuknya seperti jali-jali.”

3. Kacang-kacangan

Siapa sangka bahwa NTT adalah surganya kacang. Masyarakat NTT terkadang mencampurkan kacang ke dalam sayuran, nasi, jagung, atau bisa juga dibuat camilan, seperti kacang goreng dan kacang rebus. Ada kacang tanah dari Sumba, kacang hijau dari Flores Timur, kacang merah pun macam-macam. Ada kacang merah Ende, Paleo, dan Flores Timur, dengan rupa polos maupun seperti batik.

“Jika ke Flores dan berkunjung ke pasar tradisional, Anda akan menemukan banyak sekali jenis kacang. Masyarakat NTT biasanya menanam sorgum dan kacang-kacangan dalam satu kebun. Jadi, meski lahannya kecil, kebutuhan karbohidrat dan protein mereka tercukupi,” kata Puji.

Ade pernah mencicipi makanan bernama jagung bose. Meski ada jagungnya, tampilannya seperti bubur kacang.

“Isinya hanya jagung dan beberapa jenis kacang dengan tambahan sangat sedikit garam. Yang ditonjolkan adalah rasa asli dari kacang. Bentuk kacangnya masih terlihat, tapi teksturnya tidak keras, karena dimasak cukup lama. Aku sempat bertanya, apakah makanan ini menjadi sumber karbohidrat dan bisa disantap bersama sei (daging asap khas NTT), misalnya. Ternyata, tidak. Dia dimakan sendirian saja,” kata Ade.

Ia juga pernah menjajal kacang batik goreng. Seperti kacang tanah goreng, tapi berbeda warna dan rasa. Jika kacang tanah berwarna cokelat muda polos, kacang batik memperlihatkan bintik-bintik merah. Rasa kacang batik ini, menurut Ade, lebih manis daripada kacang tanah. Tapi, bukan karena bumbu, melainkan rasa asli dari kacang batik itu sendiri. 

Baca Juga: Promo Staycation & WFH di Traveloka, Diskon Hotel Rp 700.000 dan Diskon Spesial 30%

4. Daun Kelor

Daun yang satu ini sedang happening sekali di kota besar, karena memiliki nilai gizi yang bagus. Selain antioksidan yang sangat tinggi, kandungan vitamin C di dalamnya 7 kali lipat lebih tinggi daripada jeruk, sementara potasiumnya 15 kali lipat lebih banyak daripada pisang. Tak mengherankan, jika manfaatnya bagi kesehatan juga sangat besar.

Puji bercerita, sudah sejak lama masyarakat NTT mengonsumsi kelor, karena di sana memang banyak sekali terdapat pohon kelor. Menariknya, kelor dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi gizi buruk pada anak. Angka stunting di Flores Timur cukup tinggi. Suatu hari, sebuah puskesmas berinovasi dengan memberi makanan tambahan berupa sorgum serta kelor dan sayuran lain kepada anak-anak dengan gizi buruk. Program berdurasi 3 bulan tersebut berhasil meningkatkan berat badan anak hingga mereka tidak lagi masuk kategori gizi buruk.

“Program itu kemudian diuji coba di beberapa puskesmas lain, hingga kemudian dibuatlah kampanye solor, yaitu sorgum kelor. Ini merupakan bukti nyata bahwa ternyata pangan lokal mampu mengatasi stunting dan gizi buruk,” kata Puji.

5.Kopi Arabika dan Robusta Flores Manggarai

Minum kopi di rumah bagi warga Manggarai Raya, Flores, sudah menjadi sebuah tradisi. Beberapa tahun belakangan kebiasaan minum kopi sudah menjadi ajang untuk bersosialisasi di luar rumah, termasuk di NTT. Kebiasaan ngopi di rumah bergeser ke budaya hang out.

Menurut Puji, mereka tidak lagi hanya minum kopi di rumah, tetapi juga di kafe atau warung yang mulai bertumbuh di sana. Berita baiknya, Pemerintah daerah menetapkan kebijakan agar resto dan hotel menyediakan kopi lokal sebagai potensi lokal.

Kawasan Manggarai sendiri merupakan penghasil kopi terbesar di NTT.

“Karena potensi kopi di sana besar, kami pernah mengadakan kegiatan coffeepreneur. Sekarang banyak anak muda ingin jadi barista. Lewat program itu kami merangkul 17 anak muda, yang dibekali ilmu untuk menjadi barista kopi, juga cara membuat business plan untuk membuka usaha kopi. Mereka pun belajar banyak hal tentang produk kopi, misalnya ditanam di mana, varietasnya apa saja, budidayanya seperti apa,” kata Puji.

Sebagai peminum kopi, Ade merasakan bahwa cita rasa kopi Flores Manggarai dan kopi Bajawa tidak terlalu bisa dibedakan. Karakter kopinya sangat kompleks.

“Tapi, ketika kita bicara kopi, rasanya tergantung pada metode penyeduhannya juga. Misalnya, jadi kopi tubruk atau kopi filter. Aku mencoba kopi Manggarai dengan cara dibuat tubruk dan french press. Keduanya sama-sama enak," tandas Ade.

Baca Juga: Meskipun Pahit, 5 Manfaat Daun Pepaya Ini Luar Biasa untuk Kesehatan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News