HOME, InvesYuk

Jangan Ikut-ikutan Investasi di Luar Negeri Sebelum Memahami Aturan Pajaknya

Jangan Ikut-ikutan Investasi di Luar Negeri Sebelum Memahami Aturan Pajaknya

MOMSMONEY.ID - Punya uang lebih dan ingin mengalokasinya pada instrumen investasi di luar negeri, itu sah-sah saja. Namun, investor harus memahami risiko maupun aturan di balik peluang cuan tersebut.

Andy Nugroho, perencana keuangan Advisors Alliance Group (AAG), menyebut ada beragam bentuk investasi di luar negeri. Ada tawaran berjenis keuangan seperti saham ataupun valas, bahkan ada pula uang digital seperti kripto. Dan, ada pula yang bentuknya non- keuangan seperti properti.

Menurut Andy, sekarang ini berinvestasi di mancanegara lebih mudah karena teknologi yang sudah kian maju. Akan tetapi, sebelum memutuskan investasi di  negeri seberang, investor harus bisa memilih instrumen yang sesuai dengan tujuan keuangannya   Selain itu juga harus memiliki cukup informasi terkait regulasi atau kebijakan dari instrumen itu.

"Salah satunya soal pajak. Aturan mainnya seperti apa. Berapa yang harus dilaporkan di sini dan di negara tersebut," kata Andy.

Agus Susanto Lihin, konsultan pajak, memaparkan bahwa pada prinsipnya semua jenis investasi – baik itu investasi di dalam negeri maupun di luar negeri – merupakan aset atau harta yang wajib dilaporkan di SPT tahunan PPh. Misalnya saja investasi saham, valas, emas, properti, obligasi, kripto, dan sebagainya.

Hal ini tertuang dalam  Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Di situ dijelaskan,  yang menjadi objek pajak adalah penghasilan; yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. Dan, termasuk dalam objek pajak itu  penjualan dan pengalihan harta.

Lantas bagaimana perhitungannya? Dalam menentukan penghasilan kena pajak, Agus bilang, wajib pajak harus  menggabungkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dengan penghasilan dari dalam negeri. "Nah, untuk menghindari terjadinya pajak berganda atau double taxation, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pengkreditan Pajak Luar Negeri," katanya. 

Perlu diingat bahwa dalam menghitung penghasilan kena pajak pada perhitungan SPT tahunan PPh, si wajib pajak dalam negeri tidak dapat memperhitungkan kerugian yang diderita di luar negeri. Jadi, yang diperhitungkan hanyalah keuntungan yang didapat.

Adapun bila ada PPh yang dipungut/dipotong oleh pihak luar negeri, seyogianya itu dapat dijadikan kredit pajak (pengurang) bagi PPh yang akan terutang di dalam negeri. PPh luar negeri bisa dikreditkan pada tahun pajak dilakukannya penggabungan penghasilan, baik saat diperoleh atau diterima sesuai jenis penghasilannya. 

Lebih lanjut, Agus memerinci, besaran PPh luar negeri yang dapat dikreditkan itu ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam  perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Ini bisa  berdasarkan jumlah PPh luar negeri. Bisa pula jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan investasi yang diterima  di luar negeri terhadap penghasilan kena pajak dikalikan dengan PPh yang terutang atas penghasilan kena pajak.

"Untuk penghasilan dari keuntungan dari luar negeri itu digabungkan dengan penghasilan di dalam negeri dan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh. Namun, bila ada pemotongan pajak di luar negeri  bisa menjadi kredit pajak," kata Agus. 

Sebagai misal, tarif pajak di luar negeri 20%, sedangkan di Indonesia dikenai tarif 30%. Maka, kredit pajak yang  diakui sebesar tarif 20%, dan sisanya  harus ada kurang bayar pajak di Indonesia.                

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News